MUI Bukan Lembaga untuk Mengadili

Jakarta, Banyaknya protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap beberapa film yang telah lolos sensor, ditanggapi dengan bijak oleh Imam Suhardjo HM, salah satu ketua MUI.



“Seharusnya sebelum protes, didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak LSF,” ujar Imam Suhardjo HM, ketika ditemui menjelang acara Bincang Malam TVRI Bersama LSF, di Studio V TVRI, Senayan, Jakarta.  “Dan yang penting, tonton dulu filmnya, kalau memang tidak sependapat, barulah protes,” ujar Ketua Kominfo MUI itu, “karena banyak yang protes tetapi ternyata belum menonton filmnya.”



Sebagaimana pernah diberitakan, beberapa film yang telah lulus sensor, antara lain Hantu Puncak Datang Bulan, Suster Keramas, Akibat Pergaulan Bebas, dan Menculik Miyabi mendapat kecaman – ada yang dari MUI, ada pula dari  organisasi Islam lain.



Di dalam diskusi Bincang Malam TVRI Bersama LSF itu, Imam Suhardjo bahkan juga menegaskan, “MUI bukan lembaga untuk mengadili.”



Itu sebabnya, Prof.Dr.Ridwan Lubis, pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang juga anggota LSF, mengatakan di dalam diskusi yang dipandu aktris Olga Lydia itu, bahwa agar ada kesepahaman antara Lembaga Sensor Film (LSF) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka akan segera dibuat nota kesepahaman antara kedua lembaga tersebut yang intinya adalah penyamaan persepsi dan sosialisasi bersama antara MUI dan LSF.



H.M.Johan Tjasmadi, tokoh perfilman dan perbioskopan, yang juga menjadi pembicara  mengingatkan, agar hati-hati bila akan memprotes sebuah film. Sebab sejauh ini, kecaman-kecaman tersebut justru menguntungkan pihak produser.



“Film Akibat Pergaulan Bebas, yang semula diperkirakan hanya mendapat sekitar 200 ribu penonton, gara-gara diprotes, jadi bisa mencapai 450 ribu penonton,” kata H.M.Johan Tjasmadi. “Begitu pula dengan film  Menculik Miyabi, yang semula membuat produser deg-degan, setelah diprotes berhasil mendapatkan 500 ribu penonton,” tambah Johan Tjasmadi.