'Eat Pray Love': Mencari Jati Diri Sampai ke Bali

Image by Kwartetwo :Jakarta - Begitu Hadi Subiyanto sebagai pemeran Ketut Liyer muncul di layar pada menit-menit pertama, menggandeng lengan Julia Roberts (sebagai Elizabeth Gilbert), penonton langsung berseru, mengekspresikan perasaan senang, diiringi tepuk tangan. Itu terjadi saat pemutaran perdana 'Eat Pray Love' di Episenturm XXI, Kuningan, Jakarta beberapa waktu lalu. Dengan setting antara lain Ubud, Bali dan menampilkan pemain utama dari Indonesia (plus Christine Hakim dalam 3 scene dengan total durasi kemunculan sekitar 5 menit), sudah pasti film ini dengan mudah menyentuh emosi dan "rasa memiliki" kita.



Apalagi, sebelum film dimulai, Hadi Subiyanto tampak mondar-mandir di antara tamu undangan, membuat kita merasa begitu dekat dengan Hollywood. Lalu, usai pemutaran, orang-orang meminta foto bersama sambil berpikir, pria tua yang ompong ini adalah orang yang tampil dalam satu 'frame' dengan aktor-aktor kelas Oscar macam Javier Bardem. Bagaimana kita bisa jernih dan objektif menonton film yang sejak awal membuat kita merasa bahwa ini akan menjadi bagian dari promosi wisata Bali dan Indonesia? Apakah kita masih akan cukup peduli dengan ceritanya?



'Eat Pray Love' diangkat dari novel-biografis berjudul sama karya Elizabeth Gilbert. Sang penulis menuturkan kisah perjalanannya ke tiga lokasi, Italia, India dan Bali pasca keretakan hubungan asmaranya dengan sang kekasih. Sebelumnya, Elizabeth juga telah membina rumah tangga namun kemudian bercerai. Kegagalan demi kegagalan dalam kehidupan percintaan itulah yang membuat perempuan kaya dan barkarier mapan itu memutuskan meninggalkan rumahnya di California untuk jalan-jalan selama setahun, dengan tujuan menenangkan dan menemukan diri, serta mencari makna hidup, begitulah. Jadi, boleh dibilang, 'Eat Pray Love' adalah sebuah kisah spiritual? Banyak perempuan yang telah membaca buku itu mengaku tercerahkan.



Tapi, kalau dipikir-pikir, problem si Elizabeth itu sebenarnya nggak jelas-jelas amat. Kenapa ia minta cerai dari suaminya, kenapa hubungannya dengan sang pacar berantakan...semua tak begitu jelas penyebabnya. Mungkin karena dia itu memang semata seorang pembosan. Tapi, apakah kebosanan bukan problem yang nyata? Baiklah, jadi marilah kita terima, bahwa tokoh utama film ini adalah seorang perempuan kelas menengah kota yang hidup serba berkecukupan tapi labil. Hidupnya seperti hampa. Seperti ada hal esensial yang belum ia temukan, dan harus ia cari. Tapi, apa?



Di Italia, Elizabeth belajar bahasa, dan menikmati wisata kuliner yang bikin penonton film ini mendadak pengen makan spagheti sepulang begitu keluar dari bioskop. Di India, dia menemui seorang guru yoga, dan bertemu dengan sesama orang Amerika yang juga tengah "mencari dirinya". Di Bali, dia rajin mengunjungi Ketut Liyer, seorang dukun, dan diberi pekerjaan merestorasi kitab-kitab kuno yang nyaris hancur. Dia mengayuh sepeda menyusuri persawahan Ubud, menembus belantara pohon kelapa dan menyusuri jalan-jalan desa, sampai suatu hari, sebuah mobil yang dikemudikan oleh Javier Bardem menabraknya.



Insiden itu berlanjut menjadi perkenalan, dan hubungan asmara. Begitulah. Cukup klise, tapi siapa yang perlu cerita yang lebih "dalam"? Melihat Christine Hakim berperan sebagai Wayan, yang bersahabat dengan Julia Roberts sebagai Julia Roberts, sudah membuat kita gembira. Hadi Subiyanto bermain sangat hati-hati, dan hasilnya perfect: natural, tanpa beban, dan berhasil menghidupkan suasana. Julia Roberts masih tetap menggairahkan dan menggemaskan seperti saat memerankan tokoh Vivian, pelacur jalanan yang beruntung dalam film 'Pretty Woman' 20 tahun lalu. Javier Bardem tampak biasa saja memerankan seorang duda lembut hati, pengusaha kafe asal Australia yang sudah lama menetap di Bali.



Secara keseluruhan, film ini agak membosankan. Sinematografi yang indah dan penyutradaraan Ryan Murphy ('Running with Scissors', 2006) yang rapi tidak mampu menyelamatkan alur cerita yang tipis, datar dan minim konflik. Namun, menyaksikan pernik-pernik kekayaan budaya pada tiga lokasi yang berbeda sungguh menyenangkan. Misalnya, bagaimana orang Itali menemukan satu kata untuk menggambarkan diri seseorang, atau upacara pernikahan remaja di India.





Image by Alan Maulana